Pembantu Rumah Tangga Nasib Nestapa



 Pembantu Rumah Tangga-Nasib Nestapa




Pembantu Rumah Tangga nasib nestapa yang kurang untung, Dalam setiap permasalahan rumah, pembantu selalu menjadi tempat terakhir pelampiasan kekesalan. Sepertinya, gambaran Pramudya Ananta Toer tentang seorang pembantu rumah tangga dalam tetralogi Buru-nya menjadi potret yang masih relevan hingga sekarang.

Pembantu Rumah tangga  selalu menjadi tumpuan kesalahan, karena status dan posisi mereka tidak boleh punya hak untuk membela diri, mereka dipekerjakan untuk selalu menerima semua pekerjaan dan semua kesalahan. Pram juga menggambarkan dalam bukunya yang lain (Gadis Pantai) tentang sebuah rumah, bahwa memiliki sebuah rumah bakal jadi beban setiap orang, terutama yang memiliki rumah besar.

 Pemilik rumah biasanya jarang mau menanggung beban atas rumahnya sendiri disebabkan oleh pekerjaan, prestise, status, memiliki kekayaan yang melimpah, dan sebagainya, sehingga mereka membayar orang lain untuk men g a m b i l alih tanggung jawabnya mengurus rumah. Sayangnya, banyak majikan yang tidak menyadari peran penting seorang pembantu terhadap sebuah rumah. Begitulah akhirnya hubungan rumah dan pembantu. Nasib rumah ditentukan oleh pembantu, sedangkan nasib pembantu tidak ditentukan oleh rumah, tapi oleh majikannya.

 Dari pemahaman inilah yang menjadikan penderitaan PRT semakin panjang dan tak kunjung usai. Mimpi buruk terus mengintai nasib para PRT, baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus-kasus yang menimpa TKW di luar negeri yang tak kunjung selesai, dan sering berakhir pada kematian, menambah daftar panjang muramnya nasib pembantu rumah tangga.

Sampai kapan nasib PRT akan berubah? Akankah PRT juga bisa mendapatkan hak-haknya sebagai seorang manusia yang bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak? Sebagain besar masyarakat kita masih menganggap rendah peran dan kerja perempuan sebagai pembantu rumah. Memasak, mencuci, membersihkan dan memelihara rumah, dan lain-lain, dilihat sebagai pekerjaan yang tak bernilai atau bukan merupakan pekerjaan profesional, karena hanya ‘’mengurusi soal rumah’’.

Hal tersebut menyebabkan tenaga kerja perempuan, dalam hal ini PRT, mendapatkan gaji yang sangat rendah, bahkan tidak layak dan tidak sepadan dengan pekerjaan mereka yang tak mengenal waktu. Hampir-hampir tidak ada waktu untuk istirahat serta hari libur.